Selamat datang di Kawasan Penyair Nusantara Nusa Tenggara Timur. Terima kasih atas kunjungan Anda.

Rabu, 20 Oktober 2010

Yosep Lagadoni Herin (Yosni Herin)



Pergilah Pahlawanku (1)

Sampailah jua perjalanan ini
pada batas tempuh garisan Sang Khalik
Kala denyut nadi melemah
dalam nafas penghabisan
Selesailah ziarah panjang nan lelah
Hilang lenyaplah sudah segala letih nestapa
Kala tangis cinta pertama kali pecah
di sisi pembaringan
Pergilah pahlawan sejatiku…..
Dengan bahagia yang penuh di dada
Karena telah terpenuhi segala cita hidup:
Kebahagiaan orang-orang yang lahir
karena cintamu!

Larantuka Oktober 2008


Menjadi Angin (2)

Pulanglah pulang
kepada rahim segala rahim
Di sana telah dieramkan cinta paling murni
Tanpa duka
Tanpa air mata
Pulanglah pulang
kepada muasal cahaya segala cahaya
Di sana waktu telah membeku
dan jarak hanyalah setarikan nafas
karena cakrawala tidak lagi mengenal ufuk
Pulanglah pulang
ke tempat mana engkau datang
Di sana engkau dan kita bersua Asal
Kembali ke tanah, kembali ke debu
menjadi angin

Larantuka Oktober 2008


Di Pusara Ayah (3)

Dengan apa aku mesti menulis puisi
kalau kata-kata tak mampu hadirkan makna?
Bagaimanakah aku mesti ungkapkan rasa
kalau mulut tak lagi mengenali bahasa?
Di pusaramu semua mulut terkatup bisu
Aku hanya bisa memandangi gundukan tanah lembab
dan coba rasakan detak jantung bumi
yang telah menelan utuh tubuhmu….
Di pusaramu semua terpekur diam
Hening mentahkan duka maha duka
Dan lewat kelip lilin yang meneteskan pilu
Aku mengerti arti luka sebuah pisah
Di pusaramu, tangis itu pecah
Bukan persembahan untuk jasad yang tak lagi terlihat
Tapi demi tetes-tetes keringat air mata dan darah
yang tertumpah untuk kami anak-anakmu
Di pusaramu, ayah….
Hanya sebaris doa aku daraskan:
Tuhan, terimalah pahlawanku di sisiMu!

Pos Kupang Minggu 2 November 2008


Diam Juga Puisi

(Untuk Bara Pattyradja)

Di pintu pagi kau datang mengetuk ingat
Bawakan secangkir puisi sebagai upeti
Lalu memintaku turun dari gunung dingin untuk memeluk setiap luka di lekuk hidup
Aku masih di sini. Setia membaca sepi pada sehelai dasi dan selembar jas politik, serta dinding putih yang meneriakkan keterasingan.
Dari ketinggian peraduan aku menyaksikan lambung langit terluka dan bumi yang kehilangan bahasa
Duka semesta, duka bunda: mestikah bernanah?
Kata-kata terbelah. Banyak sutera belum tersulam.
Kelopak di taman gagal mekar, ibarat telur tak pernah jadi unggas.
Semuanya tersimpan dalam rahim ilusi.
Kelak akan kuwartakan sebagai sabda untuk membalut nganga luka-luka itu.
Diamku adalah puisi. Di dalamnya aku menikmati metafora.
Menjelma dari tiada ke ada, dan dari ada kepada tiada.
Bukankah rasa tidak mesti ditulis, dan sajak tidak harus terucap?
Tapi, seperti katamu, pesta ini akan segera usai.
Saatnya pintu-pintu akan segera dibuka.
Lambung langit terluka akan memuntahkan kata-kata dan bumi tak lagi bisu.
Aku akan berlari menyongsongnya!

Larantuka, Juni 2008


Sajadah Putih

Di atas sajadah putih
Terbentang keagungan Maha Segala
Berhambur kemurahan tak terangkai
Dan berlimpah rahmat sepenuh-penuh
Di atas sajadah putih
Umat’ dina bersujud syukur muliakan Nama di atas langit segala langit
Hamba hina bersimpah pasrah berharap kemurahan Sang Pemurah
Di atas sajadah putih:
Kepasrahan dan kedinaan bersua Kemuliaan
Kefanaan datang menyapa Keilahian!

Denpasar, 1998

Pos Kupang, Edisi 13 Juli 2008 halaman 6


Diam


By: Yoseph Lagadoni Herin (Yosni Herin)
Lama aku berdiam dalam sunyi
Diamku bukan suara, bukan cahaya….
Melainkan mencari cinta dengan jalan lain
Lama aku berusaha mengalah
Bukan untuk mencari pemenang atau pecundang
Tapi agar orang lain juga tidak merasa kalah…..
Akhirnya aku tahu,
diam tak selamanya emas.
Orang sering menganggap sunyi itu tiada
dan luka orang kecil selalu dibiarkan bernanah.
Maka biarlah aku balut luka itu dengan suara dan kata
karena puisi tak lagi indah jika lahir dari amarah rahim!

(Dimuat di Pos Kupang Minggu, 21 September 2008 halaman 6)


Jangan Gores Suci Rahim Bunda

Kata-katamu bagai panah tembusi dada langit
Atau belati paling sayat mencabik-cabik tubuh
Di dalamnya kusua rasa sakit dan perih luka
Harga diri bisa tergadai pedih,
Tapi suci rahim bunda tak boleh tak boleh digores
Meski dengan apa pun selembut kapas
Karena di dalamnya bersemayam cinta maha daya
serta kesabaran tapa kata
Ternyata kau bilang tidak
Dengan lihai kata dan kiasan kau tiadakan yang ada
Sunyi sepikan yang gaduh, dan kecilkan yang besar
Adakah kau ingin tampak tegar-kekar?
Mungkin kau lupa pesan seorang penyair:
“Kalau sunyi engkau anggap tiada,
siaplah terbangun dari tidurmu oleh ledakan-ledakannya.
Kalau tidak tampak oleh pandanganmu engkau tiadakan
siaplah jatuh tertabrak olehnya.
Dan kalau kecil engkau remehkan,
siaplah nikmati kekerdilanmu
dalam gengggaman kebesaranNya…”

Jakarta, Tengah September 2008

(Dimuat di Pos Kupang Minggu, 21 September 2008 halaman 6)

Novisiat SVD Nenuk

Doa

Tuhan
Hujan telah membasahi bumi
Dia membacakan kepada kami
Madah tentang sebuah kehidupan
Syair tentang hidup kami
Tentang peperangan, tentang pemberontakan
Tentang kekacauan dan bencana
Tapi siapa yang mampu
Menjelaskannya kepada kami?


Tuhan
Matahari kini sering ditutupi kabut
Kegelapan yang membaringkan raga kami
Di dalam kelemahan kami
Bersama kelembutan ia mendekap tubuh
Dengan amarah, dengan kebencian
Dengan kedengkian dan tipu muslihat
Tetapi siapa yang berani
Berani menggeser kabut itu
Lalu menarik kembali matahari
Supaya ia tidak jarang muncul

Tuhan
Guntur dan halilintar menggores telinga kami
Bersama suara yang membentak batin
Ia menyampaikan kekecewaannya
Karena bumi dan alam semesta
Hancur di tangan-tangan kecil kami
Karena kami memusnahkan sahabatnya
Tumbuhan dan pohon-pohon di alam rimba
Binatang-binatang buatan sang pencipta
Tetapi siapa yang rendah hati
Dan mau mendengarkan mereka?

Tuhan
Apakah boleh kami mengulurkan tangan
Duduk bersama mereka sebagai sahabat?

Tanpa Lilin

Meski ku tak mengenalmu
Harusnya ku mengabaikanmu
Saat bertemu denganmu
Saat hadirmu dalam hidupku

Bersamaan ku tak rasakan
Belenggu kehangatan hati
Yang kuterima hanya luka
Sehingga hatiku mati untukmu

Segala pengorbanan sia-sia
Setelah kau meninggalkanku
Membawa semua bahagia
Dan biarkan luka ini bersamaku

Kurelakan kau dengan dia
Yang pertama hadir di hatimu
Jagalah dirimu sayang
Aku mencintaimu tanpa lilin

Tak mungkin lagi
Akan kuulangi kisah ini
Tak akan pernah
Walau hanya untuk berharap
Simpan saja setiaku di hatimu
Untukmu
Dan lupakan aku selamanya.


Pos Kupang Minggu 4 Januari 2009,

Vianney Leyn

Tangisan Buat Negeri

Ada air mata mengalir
Bersama Lumpur banjir
Ada tangis menggema
Terpantul dari kemegahan kota

Ada suara merintih
Di antara puing-puing duka reruntuhan
Ada ratap menggeletar
Menjalar di lorong berbongkah

Aku mau menangis buat negeri
Aku mau menangis bersama negeri


Pos Kupang Minggu 4 Januari 2009, halaman 6