tag:blogger.com,1999:blog-79764234423716859332024-03-21T15:44:13.664-07:00Nusa Tenggara TimurArsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.comBlogger3125tag:blogger.com,1999:blog-7976423442371685933.post-81869025165340435852010-10-20T21:53:00.000-07:002010-10-20T22:01:41.530-07:00Yosep Lagadoni Herin (Yosni Herin)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiVwIyUGYNKbNuBylVCD_FG2RKvXOl84RCNWBRmZve7eYC9KJQ4fOYzu2-6ZPJBz1e3w4a3236Fl0q06htQ7Sz0AlZ4i0hq_SmmqLvapmBUaB6YpPBSwAvGKqdSTPZDVneULScfldwr30Ry/s1600/Yosni_Herin+copy.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 168px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiVwIyUGYNKbNuBylVCD_FG2RKvXOl84RCNWBRmZve7eYC9KJQ4fOYzu2-6ZPJBz1e3w4a3236Fl0q06htQ7Sz0AlZ4i0hq_SmmqLvapmBUaB6YpPBSwAvGKqdSTPZDVneULScfldwr30Ry/s200/Yosni_Herin+copy.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5530359951040491410" border="0" /></a><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >Pergilah Pahlawanku (1)</span><br /><br />Sampailah jua perjalanan ini<br />pada batas tempuh garisan Sang Khalik<br />Kala denyut nadi melemah<br />dalam nafas penghabisan<br />Selesailah ziarah panjang nan lelah<br />Hilang lenyaplah sudah segala letih nestapa<br />Kala tangis cinta pertama kali pecah<br />di sisi pembaringan<br />Pergilah pahlawan sejatiku…..<br />Dengan bahagia yang penuh di dada<br />Karena telah terpenuhi segala cita hidup:<br />Kebahagiaan orang-orang yang lahir<br />karena cintamu!<br /><br />Larantuka Oktober 2008<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >Menjadi Angin (2)</span><br /><br />Pulanglah pulang<br />kepada rahim segala rahim<br />Di sana telah dieramkan cinta paling murni<br />Tanpa duka<br />Tanpa air mata<br />Pulanglah pulang<br />kepada muasal cahaya segala cahaya<br />Di sana waktu telah membeku<br />dan jarak hanyalah setarikan nafas<br />karena cakrawala tidak lagi mengenal ufuk<br />Pulanglah pulang<br />ke tempat mana engkau datang<br />Di sana engkau dan kita bersua Asal<br />Kembali ke tanah, kembali ke debu<br />menjadi angin<br /><br />Larantuka Oktober 2008<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >Di Pusara Ayah (3)<br /></span><br />Dengan apa aku mesti menulis puisi<br />kalau kata-kata tak mampu hadirkan makna?<br />Bagaimanakah aku mesti ungkapkan rasa<br />kalau mulut tak lagi mengenali bahasa?<br />Di pusaramu semua mulut terkatup bisu<br />Aku hanya bisa memandangi gundukan tanah lembab<br />dan coba rasakan detak jantung bumi<br />yang telah menelan utuh tubuhmu….<br />Di pusaramu semua terpekur diam<br />Hening mentahkan duka maha duka<br />Dan lewat kelip lilin yang meneteskan pilu<br />Aku mengerti arti luka sebuah pisah<br />Di pusaramu, tangis itu pecah<br />Bukan persembahan untuk jasad yang tak lagi terlihat<br />Tapi demi tetes-tetes keringat air mata dan darah<br />yang tertumpah untuk kami anak-anakmu<br />Di pusaramu, ayah….<br />Hanya sebaris doa aku daraskan:<br />Tuhan, terimalah pahlawanku di sisiMu!<br /><br />Pos Kupang Minggu 2 November 2008<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >Diam Juga Puisi</span><br /><br />(Untuk Bara Pattyradja)<br /><br />Di pintu pagi kau datang mengetuk ingat<br />Bawakan secangkir puisi sebagai upeti<br />Lalu memintaku turun dari gunung dingin untuk memeluk setiap luka di lekuk hidup<br />Aku masih di sini. Setia membaca sepi pada sehelai dasi dan selembar jas politik, serta dinding putih yang meneriakkan keterasingan.<br />Dari ketinggian peraduan aku menyaksikan lambung langit terluka dan bumi yang kehilangan bahasa<br />Duka semesta, duka bunda: mestikah bernanah?<br />Kata-kata terbelah. Banyak sutera belum tersulam.<br />Kelopak di taman gagal mekar, ibarat telur tak pernah jadi unggas.<br />Semuanya tersimpan dalam rahim ilusi.<br />Kelak akan kuwartakan sebagai sabda untuk membalut nganga luka-luka itu.<br />Diamku adalah puisi. Di dalamnya aku menikmati metafora.<br />Menjelma dari tiada ke ada, dan dari ada kepada tiada.<br />Bukankah rasa tidak mesti ditulis, dan sajak tidak harus terucap?<br />Tapi, seperti katamu, pesta ini akan segera usai.<br />Saatnya pintu-pintu akan segera dibuka.<br />Lambung langit terluka akan memuntahkan kata-kata dan bumi tak lagi bisu.<br />Aku akan berlari menyongsongnya!<br /><br />Larantuka, Juni 2008<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >Sajadah Putih</span><br /><br />Di atas sajadah putih<br />Terbentang keagungan Maha Segala<br />Berhambur kemurahan tak terangkai<br />Dan berlimpah rahmat sepenuh-penuh<br />Di atas sajadah putih<br />Umat’ dina bersujud syukur muliakan Nama di atas langit segala langit<br />Hamba hina bersimpah pasrah berharap kemurahan Sang Pemurah<br />Di atas sajadah putih:<br />Kepasrahan dan kedinaan bersua Kemuliaan<br />Kefanaan datang menyapa Keilahian!<br /><br />Denpasar, 1998<br /><br />Pos Kupang, Edisi 13 Juli 2008 halaman 6<br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" ><br />Diam</span><br /><br />By: Yoseph Lagadoni Herin (Yosni Herin)<br />Lama aku berdiam dalam sunyi<br />Diamku bukan suara, bukan cahaya….<br />Melainkan mencari cinta dengan jalan lain<br />Lama aku berusaha mengalah<br />Bukan untuk mencari pemenang atau pecundang<br />Tapi agar orang lain juga tidak merasa kalah…..<br />Akhirnya aku tahu,<br />diam tak selamanya emas.<br />Orang sering menganggap sunyi itu tiada<br />dan luka orang kecil selalu dibiarkan bernanah.<br />Maka biarlah aku balut luka itu dengan suara dan kata<br />karena puisi tak lagi indah jika lahir dari amarah rahim!<br /><br />(Dimuat di Pos Kupang Minggu, 21 September 2008 halaman 6)<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >Jangan Gores Suci Rahim Bunda</span><br /><br />Kata-katamu bagai panah tembusi dada langit<br />Atau belati paling sayat mencabik-cabik tubuh<br />Di dalamnya kusua rasa sakit dan perih luka<br />Harga diri bisa tergadai pedih,<br />Tapi suci rahim bunda tak boleh tak boleh digores<br />Meski dengan apa pun selembut kapas<br />Karena di dalamnya bersemayam cinta maha daya<br />serta kesabaran tapa kata<br />Ternyata kau bilang tidak<br />Dengan lihai kata dan kiasan kau tiadakan yang ada<br />Sunyi sepikan yang gaduh, dan kecilkan yang besar<br />Adakah kau ingin tampak tegar-kekar?<br />Mungkin kau lupa pesan seorang penyair:<br />“Kalau sunyi engkau anggap tiada,<br />siaplah terbangun dari tidurmu oleh ledakan-ledakannya.<br />Kalau tidak tampak oleh pandanganmu engkau tiadakan<br />siaplah jatuh tertabrak olehnya.<br />Dan kalau kecil engkau remehkan,<br />siaplah nikmati kekerdilanmu<br />dalam gengggaman kebesaranNya…”<br /><br />Jakarta, Tengah September 2008<br /><br />(Dimuat di Pos Kupang Minggu, 21 September 2008 halaman 6)Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7976423442371685933.post-34839901697964675752010-10-20T21:51:00.000-07:002010-10-20T21:53:02.275-07:00Novisiat SVD Nenuk<span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >Doa</span><br /><br />Tuhan<br />Hujan telah membasahi bumi<br />Dia membacakan kepada kami<br />Madah tentang sebuah kehidupan<br />Syair tentang hidup kami<br />Tentang peperangan, tentang pemberontakan<br />Tentang kekacauan dan bencana<br />Tapi siapa yang mampu<br />Menjelaskannya kepada kami?<br /><br /><br />Tuhan<br />Matahari kini sering ditutupi kabut<br />Kegelapan yang membaringkan raga kami<br />Di dalam kelemahan kami<br />Bersama kelembutan ia mendekap tubuh<br />Dengan amarah, dengan kebencian<br />Dengan kedengkian dan tipu muslihat<br />Tetapi siapa yang berani<br />Berani menggeser kabut itu<br />Lalu menarik kembali matahari<br />Supaya ia tidak jarang muncul<br /><br />Tuhan<br />Guntur dan halilintar menggores telinga kami<br />Bersama suara yang membentak batin<br />Ia menyampaikan kekecewaannya<br />Karena bumi dan alam semesta<br />Hancur di tangan-tangan kecil kami<br />Karena kami memusnahkan sahabatnya<br />Tumbuhan dan pohon-pohon di alam rimba<br />Binatang-binatang buatan sang pencipta<br />Tetapi siapa yang rendah hati<br />Dan mau mendengarkan mereka?<br /><br />Tuhan<br />Apakah boleh kami mengulurkan tangan<br />Duduk bersama mereka sebagai sahabat?<br /><br />Tanpa Lilin<br /><br />Meski ku tak mengenalmu<br />Harusnya ku mengabaikanmu<br />Saat bertemu denganmu<br />Saat hadirmu dalam hidupku<br /><br />Bersamaan ku tak rasakan<br />Belenggu kehangatan hati<br />Yang kuterima hanya luka<br />Sehingga hatiku mati untukmu<br /><br />Segala pengorbanan sia-sia<br />Setelah kau meninggalkanku<br />Membawa semua bahagia<br />Dan biarkan luka ini bersamaku<br /><br />Kurelakan kau dengan dia<br />Yang pertama hadir di hatimu<br />Jagalah dirimu sayang<br />Aku mencintaimu tanpa lilin<br /><br />Tak mungkin lagi<br />Akan kuulangi kisah ini<br />Tak akan pernah<br />Walau hanya untuk berharap<br />Simpan saja setiaku di hatimu<br />Untukmu<br />Dan lupakan aku selamanya.<br /><br /><br />Pos Kupang Minggu 4 Januari 2009,Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7976423442371685933.post-80419680872368385532010-10-20T21:50:00.000-07:002010-10-20T21:51:39.546-07:00Vianney Leyn<span style="font-weight: bold;font-size:130%;" >Tangisan Buat Negeri</span><br /><br />Ada air mata mengalir<br />Bersama Lumpur banjir<br />Ada tangis menggema<br />Terpantul dari kemegahan kota<br /><br />Ada suara merintih<br />Di antara puing-puing duka reruntuhan<br />Ada ratap menggeletar<br />Menjalar di lorong berbongkah<br /><br />Aku mau menangis buat negeri<br />Aku mau menangis bersama negeri<br /><br /><br />Pos Kupang Minggu 4 Januari 2009, halaman 6Arsyad Indradihttp://www.blogger.com/profile/02268094638915127738noreply@blogger.com0